Nilai Solidaritas Acara Wuat Wa’i dalam Masyarakat Adat Manggarai
I. Pengantar
Secara
praktis, kebudayaan bisa dimengerti sebagai kumpulan nilai-nilai dan
perayaan (baca: pemaknaan) atas nilai-nilai tersebut. Sebagai kumpulan
nilai-nilai, kebudayaan berkarakter pencarian. Nilai-nilai yang ada itu
menjadi titik akhir pencarian manusia akan sesuatu yang dianggap
bermakna bagi hidup. Dan pada dasarnya setiap manusia memiliki motif tunggal dalam pengembaraan hidupnya yaitu mengejar aneka
nilai. Kita harus sepakat bahwa nilai yang dikejar adalah nilai baik
yang mungkin bisa diringkas dengan sebutan keutamaan-keutamaan.
Keutamaan-keutamaan itu menjadi harapan semua orang agar dipenuhi.
Acara wuat wa’i yang terdapat dalam masyarakat ada Manggarai terdorong oleh satu keyakinan akan nilai tertentu untuk hidup. Bagi saya, acara itu memiliki karakter teleologis yaitu mempunya arah atau tujuan yang mulia di dalam dirinya sendiri. Seperti apakah acara wuat
wa’i dalam masyarakat adat Manggarai dan apa maknanya bagi kehidupan
serta dinamikanya dari waktu ke waktu? Apa sumbangan kebudayaan lokal
itu bagi kebudayaan bangsa, dalam hal ini untuk membangun sebuah
ideologi ke-indonesia-an? Tulisan ini akan membahas beberapa pertanyaan
dasar di atas. Dan perspektif yang dipakai di sini adalah perspektif
antropologis kultural.
II. Sekilas tentang Manggarai
Daerah
Manggarai terletak di bagian barat pulau Flores. Bagian barat
berbatasan dengan selat Sape, bagian timur dengan Wae Mokel, bagian
selatan denngan laut Sumba, dan bagian utara dengan daerah Bajawa.[1] Pada masa kerajaan daerah ini tediri atas 12 dalu dan pusat kerajaan terdiri atas tiga
yaitu pongkor, Todo, dan Cibal. Kemudian dalam sistem pemerintahan
sekarang, daerah ini dibagi dalam tiga wilayah pemerintahan yaitu
kabupaten Manggarai Barat, Manggarai Timur dan Manggarai
Tengah. Meskipun wilayah pemerintahan ini di bagi tiga, daerah ini masih
memiliki satu mbaru tembong (Rumah Gendang)[2] yang sama
yaitu di Manggarai Tengah. Ketiga wilayah ini masih menganut satu
rumpun budaya yang sama yaitu rumpun budaya Manggarai. Pembagian wilayah
dalam ketiga wilayah pemerintahan tidak sekaligus membagi corak
kebudayaan yang kelihatan berbeda.
Salah satu corak budaya yang terdapat di daerah ini adalah acara wuat wa’i. Acara inilah yang menjadi pokok pembahasan dalam tulisan ini.
III. Acara Wuat Wa’i sebagai bagian unsur budaya
a. Wuat wa’i
Dalam kamus besar bahasa Manggarai seperti yang dikutip oleh Adi M Nggoro dalam bukunya yang berjudul Budaya Manggarai Selayang Pandang memberikan definisi acara Wuat Wai sebagai berikut, Wuat wa’i adalah salah satu ritus budaya yang terdapat di daerah Manggarai untuk melepas-pergikan seseorang ketika dia hendak keluar dari
kampung halamannya entah dalam negeri atau luar negeri. Entah untuk
mengeyam pendidikan lebih lanjut atau sekedar keluar untuk mengejar dan mengubah nasib hidup agar menjadi lebih baik lagi (perantauan).[3] Acara adat ini terdiri atas dua kata yaitu Wuat dan Wa’i.
Kalau kedua kata ini diterjemahkan secara terpisah kemudian
digabungkan, tidak akan menghasilkan satu makna tunggal. Namun ketika
kedua kata ini dilihat sebagai satu frasa, maka kedua kata
ini memiliki pengertian yang jelas. Wuat dalam bahasa Manggarai
diterjemahkan menjadi bekal dan wa’i adalah kaki. Namun frasa wuat wa’i bisa didefinisikan seperti pendefinisian yang sudah baku dalam kamus bahasa Manggarai dan seperti yang dimengerti secara benar dalam masyarakat publik Manggarai.
Ada dua acara penting pada saat wuat wa’i. Kedua hal itu tidak dapat dipisahkan satu sama lain karena wuat wa’t menjadi bermakna ketika keduanya berjalan secara sinergis.
Kedua hal itu yaitu tura manuk Bakok (Ayam putih) dan pengumpulan dana
sebagai bekal bagi yang bersangkutan ( Dia yang hendak keluar dari daerah itu).[4] Acara tura manuk bakok adalah bentuk doa dalam agama asli daerah Manggarai berupa permohonan kepada sang wujud tertinggi (Mori kraeng) agar perjalanannya selamat sampai di tempat tujuan.
Makna ayam bakok sendiri berarti ketulusan dan keselamatan. Warna bakok
atau warna putih adalah lambang kesucian. Sedangkan pengumpulan dana
adalah sumbangan yang diberikan secara sukarela oleh keluarga atau siapa saja yang mengikuti acara tersebut.
Acara ini biasa diikuti oleh seluruh keluarga besar wan koe etan tua (baik yang kecil
maupun orang tua) dan siapa saja yang diundang oleh keluarga yang
bersangkutan yang berasal dari luar keluarga besar. Acara ini memiliki
dua makna yaitu makna religius dan makna solidaritas. Makna religius
bisa dilihat dalam acara adat tura manuk yang
memohon penyertaan yang ilahi (Mori Kraeng) dan makna solidaritas
terdapat dalam tindakan sukarela untuk membekali yang bersangkutan.
Namun dua makna ini bisa meringkas pengertian acara ini sebagai acara pembekalan.
Ketika kebudayaan sebagai pengejaran dan perayaan atas nilai- nilai, maka dalam acara ini tampak adanya tindakan pengejaran dan perayaan atas nilai-nilai itu yang dibangun dalam kesadaran dan kemauan kolektif. Pengejaran itu tidak bisa berjalan sendiri-sendiri tetapi selalu bersama dengan orang lain. Pada saat itulah
kebudayaan menjadi milik bersama masyarakat dan bukan milik individu
semata. Kebudayaan selalu memiliki karakter sosial daripada individual. Sehingga masyarakat dipahami sebagai kelompok individu yang berorganisasi secara tetap dan mengikuti cara hidup bersama serta mempunyai kesadaran akan hubungannya dengan golongannya (Group Conciousness).[5]
b. Wuat Wa’i dan dinamikanya dalam zaman
Kebudayaan selalu bersifat dinamis. Sifatnya yang dinamis selalu memiliki orientasi untuk selalu melawan kebiasaan statis dalam masyarakat. Seluruh corak kehidupan masyarakat entah cara berpikir ataupun tindakanya selalu bersifat dinamis. Cara berpikir yang satu tidak sama dengan cara berpikir pada saat yang berbeda. Corak dinamis kebudayaan terjadi melalui perubahan sosial yaitu perubahan cara berpikir, kesadaran akan kebersamaan maupun faktor eksternal berupa pengabdopsian corak budaya dari luar daerah menjadi seolah-olah milik daerahnya. Kalau hal ini tidak hati-hati, maka akan terjadi krisis identitas bagi penganut kebudayaan tertentu.[6]
Acara
Wuat wai yang terdapat di daerah Manggarai juga memiliki dinamika. Dia
memiliki perkembangan dari jaman ke jaman dan generasi yang satu ke
generasi lainnya. Namun dinamika itu tidak hendak menghapus corak asli
dari acara adat itu. Corak religius dan solidaritas tidak dikaburkan secara serampangan oleh perkembangan jaman yang ada.
Pada mulanya acara ini
hanya di laksanakan ditempat yang sederhana dengan jumlah anggota yang
terbatas. Namun perkembangannya mulai berubah dengan didirikannya tenda
(kemah) dan penyewaaan sound system untuk memenuhi hasrat kaum muda berupa acara disko dan dansa bagi kaum remaja atau orang yang sudah menikah dan masih memiliki jiwa muda.
Namun jangan lupa, di tengah gemerlap dan ramainya acara pesta, anggota
keluarga yang bersangkutan masih mengambil waktu sendiri untuk membuat
acara tura manuk bakok. Dan acara pesta yang cukup besar ini
hanya diperuntukkan bagi mereka yang hendak melanjutkan studinya ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu studi di bangku perkuliahan. Sehingga
orang jaman sekarang kerap menyebutnya acara pesta sekolah. Acara pesta sekolah adalah dinamika dari acara wuat wa’i. Ketika acara pelepasan itu diadakan terbatas hanya untuk keluarga besar, maka acara itu tetap mendapat nama acara wuat wa’i. Namun ketika acara itu melibatkan banyak orang dari berbagai kampung, maka acara berubah
namanya menjadi pesta sekolah. Sepertinya menjadi sebuah kewajiban bagi
siapa saja yang hendak menyekolahkan anaknya untuk berpesta yaitu acara
pengumpulan dana.
Acara pesta sekolah hanya terdapat di Manggarai. Acara ini turut mewarnai corak budaya manggarai dewasa ini. Yang menjadi inti dari acara ini hanya dilaksanakan sampai pkl. 24.00 malam. Sedangkan selebihnya menjadi bagian kaum
muda untuk mengesplorasikan bakak-bakat menarinya. Acara dari pkl 24.00
sampai pagi ini oleh masyarakat Manggarai disebut sebagai acara bebas. Dan banyak istilah untuk menyebut acara ini. Salah satunya juga adalah acara gosok
lante (Lantai). Tak jarang acara ini juga menjadi ajang penemuan jodoh.
Ketika mata ketemu mata dan hati ketemu hati, muncullah perasaan cinta
lalu diungkapkan. Dari sinilah muncul kata wendo (Bawa Lari
anak orang) dalam budaya Manggarai. Wendo adalah salah satu unsur
perkawinan dalam masyarakat manggarai yang tidak meminta persetujuan
keluarga terlebih dahulu, tetapi lebih mementingkan inisiatif kedua
pasangan. Maka acara pesta ini menjadi ajang berwendo ria. Banyak pasangan nikah di Manggarai sebagai hasil wendo. Wendo tidak pernah melewati acara perkawinan secara bertahap.
Di lain sisi, pesta sekolah juga dijadikan sebagai unjuk kejagoan antar
kampung. Sehingga tidak jarang perkelahian antar kampung terjadi di
sana. Maka acara pesta sekolah bisa menjadi berkah bagi si pemilik pesta
sekaligus malapetaka ketika ada kerusakan barang karena perkelahian
antar kampung tersebut.
Inilah dinamika budaya wuat wa’i menjadi pesta sekolah. Secara substansial acara ini tidak berubah karena dua unsur utama yaitu tura manuk bakok dan pengumpulan dana masih ada. Namun ada hal-hal lain yang ditambahkan. Misalnya, disko dan dansa. Kedua hal ini sangat dipengaruhi oleh budaya populer dewasa ini. Sepertinya budaya populer itu lebih digandrungi banyak orang daripada ekplorasi kreatif budaya
lokal. Namun harus diterima bahwa budaya populer turut mewarnai budaya
lokal sehingga kelihatan apik dan berwarna. Tapi bahaya mendominasi
antara satu dan yang lainnya bisa saja terjadi.[7]
Di sini, kejelian masing-masing pribadi sangat dituntut untuk menjaga
keaslian budaya. Inkulturasi itu penting tetapi jangan sampai terjebak
dalam bahaya sinkretisme budaya di mana kedua budaya yang bersangkutan
dipadukan sehingga menghasilkan salah satu unsur budaya yang baru.
IV. Nilai solidaritas acara wuat wa’i
Setiap unsur budaya pasti memiliki nilai. Dan nilai inilah yang dikejar setiap manusia. Boleh dikata bahwa setiap tindakan manusia entah secara sadar atau tidak selalu berorientasi pada nilai tertentu. Sehingga tindakan kultural memiliki dimensi teleologis ketika tindakkan itu mengarah kepada sesuatu hal yang berada di depan kita dan ada niat untuk meraihnya secara konsekuen.
Demikian juga acara wuat wa’i yang kemudian mengalami perubahan secara dinamis menjadi pesta sekolah memiliki orientasi nilai tertentu. Dan nilai yang dikejar adalah solidaritas antar sesama yang menjadi tujuan terpenting dalam hidup kebersamaan di masyarakat tertentu. Nilai solidaritas ini menjadi nilai universal yang dianut dan dikejar bersama.
Bukan solidaritas kalau tindakan ini dilakukan seorang saja.
Solidaritas mengandaikan adanya partner tindakkan. Di sini ada
keterlibatan subyek yang lain untuk menerima tindakan solider itu. Jika tidak ada subyek
yang lain, maka tindakan itu tidak bernilai sama sekali. Bukan juga
berciri simbolis tetapi adanya kekosongan nilai. Apa yang ditawarkan di
sana, tidaklah diperlihatkan secara gamblang. Namun ketika aksi itu
terjadi dalam sebuah masyarakat dan melibatkan seluruh warga masyarakat dalam nuansa ketulusan, maka nilai solidaritas menjadi kelihatan pola dasarnya dan kesejatiannya terpenuhi. Frasa “Kesejatian yang terpenuhi” di sini perlu disimak dengan baik karena frasa ini hendak mengatakan sesuatu secara mendalam yaitu bahwa tindakan solider terjadi dalam masyarakat entah yang mengakui heterogenitas yang memiliki niat yang sama untuk membantu yang lain maupun dalam masyarakat homogen.
V. Wuat wa’i dalam perspektif budaya bangsa (Membangun Keindonesiaan)
Nilai
solidaritas tidak menjadi monopoli suku, daerah bahkan bangsa tertentu.
Nilai ini menjadi nilai universal yang ditawarkan kepada semua orang di manapun mereka berada. Nilai ini dianut dan dikejar oleh siapapun entah yang berada pada golongan
bawah ataupun golongan teratas. Namun aksi penyilangan dalam
penyumbangan nilai sulit dijalankan karena kesombongan golongan tertentu
dan individualisme menjadi dewa baru yang masih disembah dan sulit
dilepaskan. Misalnya, golongan atas sangat sulit untuk membantu mereka
yang berasal dari golongan bawah. Atau mereka yang berpangkat tinggi
sangat sulit untuk membantu rakyat jelata. Masyarakat kecil biasanya
rela membantu dan mereka memberi dari kekurangan mereka sendiri tanpa
memandang golongan atau kedudukan. Solidaritas sejati terdapat dalam
masyarakat atau rakyat jelata ini.
Negara
Indonesia adalah negara yang majemuk sekaligus beriman. Kemajemukan
ditandai dengan aneka budaya, bahasa, suku, dan agama. Sedangkan sebagai
negara beriman ditandai dengan ditetapkannya enam agama menjadi agama
yang secara definitif dianut di negara kita
yang tercinta ini. Kemajemukan dan nilai beriman ini menjadi medan yang
sangat strategis untuk mewujudkan nilai solidaritas atar suku, bahasa ,
dan agama. Dan sebagai penjamin dari tindakkan ini adalah norma dan
moral agama msing-masing. Tidak ada satupun agama yang tidak mengajarkan kebaikan.
Dalam acara wuat wa’i atau pesta sekolah di Manggarailah menjadi nyata suatu sikap silidaritas yang tidak dihalangi oleh aneka bentuk keanekaragaman tertentu. Semua golongan masyarakat hadir
bersama untuk membantu pihak yang bersangkutan. Tindakkan ini dipicu
oleh nilai kebaikan bersama yang berpuncak pada kesejahteraan bersama.
Nilai kebersamaan sangat dijunjung tinggi. Ada anggapan dasar bahwa
ketika orang lain menjadi baik, maka itu adalah kebaikan bersama bukan
kebaikan individual. Kesejahteraan pribadi tertentu bukan hanya menjadi
makanannya sendiri tetapi menjadi kebanggaan orang lain atau warga
masyarakat yang telah mengutus dia untuk keluar dari ruang
pribadinya dan membentuk diri menjadi diri yang lebih baik lagi.
Hendaknya pola budaya lokal ini membias sampai ke tingkat yang lebih
tinggi untuk membentuk jiwa keindonesiaan kita agar bangsa yang majemuk
ini diikat oleh satu spiritualitas yang sama yaitu spiritualitas
persaudaraan. Corak kebersamaan tidak pernah menolak kenyataan
keberbedaan. Tetapi mengolah perbedaan itu menjadi letupan yang berharga
demi membangun negara Indonesia menjadi negara yang ramah, santun dan
penuh ketulusan.
Kita boleh membangun satu gagasan yang cemerlang tentang Indonesia. Namun tidak semua orang bisa diajak
berdamai dengan bangsanya sendiri. Begitu banyak orang yang bertindak
senonoh untuk mengeruk keuntungan dengan memperalat pihak lain
sedemikian rupa. Dalam konteks seperti ini sisi solidaritas dari
keindonesiaan kita sangat sulit dimanifestasikan secara gamblang apalagi menemukan kekhasannya yang sejati.
Secara geografis Manggarai
adalah bagian dari wilayah nusantara. Apa pun corak dan ciri budaya
daerah tersebut menjadi corak dan ciri budaya bangsa. Karakter daerah
menjadi karakter bangsa. Bahkan karakter keindonesiaan kita adalah
kulminasi dari nilai-nilai budaya yang dipegang teguh oleh daerah-daerah
yang terdapat dalam wilayah nusantara. Kita harus meyakini bahwa tidak ada nilai budaya yang mengajarkan kejahatan moral tetapi semuanya menyerukan kebaikan bersama. Sangatlah mungkin kalau pencapaian kebaikan bersama itu menjadi tugas dari masing-masing warga yang memiliki kesadaran kolektif untuk merangsang kemajuan tersebut.
VI. Penutup
Kebudayaan
adalah hasil karya manusia yang sedang mencari identitas dirinya.
Pencarian identitas ini bukan hanya dilakukan secara individual tetapi secara kolektif. Tindakkan kolektivitas syarat dengan kemauan bersama. Acara wuat wa’i dalam masyarakat adat Manggarai merupakan acara adat yang
dilakukan terdorong oleh kesadaran kolektif dari masing-masing warga
untuk menjamin kepergian anggota keluarganya dan memberi dia bekal yang
berguna. Sisi solidaritas dari ritus ini bernapaskan kesadaran kolektif
yang diembuskan secara serempak untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
wuat wa’i hanyalah alat yang
membahasakan dua nilai penting yaitu ungkapan nilai religius dan nilai
solidaritas. Nilai religius adalah nilai yang bersifat vertikal untuk
membina hubungan pribadi dengan sang Mori Kraeng (Wujud tertinggi).
Sedangkan nilai solidariats adalah nilai yang bersifat horisontal
dan karena sifatnya horisontal, maka tidak ada gradasi kepentingan dan
kehendak yang berbeda setiap lapisan masyarakat. Semua dipanggil dalam
semangat yang sama.
Kesadaran
kedaerahan mencerminkan kesadaran kebangsaan. Dan bangsa yang maju
tidak pernah meninggalkan aneka kearifan lokal yang tumbuh untuk memberi
warna kepada wajah keindonesiaan ini. Kalau ditanya apa sumbangan
kearifan lokal budaya manggarai ini bagi pembentukan keindonesiaan kini?
Mungkin saja sumbangan langsung tidak bisa dilihat secara kasat mata, tetapi secara implisit sumbangannya terletak dalam kesadaran kolektif
untuk menyejahterahkan kehidupan sesama. Dan bagaimana hal itu menjadi
mungkin dalam masyarakat yang menganut sikap individualisme tingkat tinggi? Hal itu masih didiskusikan lebih lanjut.
DAFTAR PUSTAKA
Dagur Bagul,Antony. Manggarai dalam Perspektif Masa Depan.Infomedia:Jakarta. 2004.
Fauzie Rizal,M Rusli Karim (Eds). Dinamika Budaya dan Politik dalam Pembangunan.Tiara Wacana:Yoyakarta. 1991.
Janggur, Petrus. Butir-Butir Adat Manggarai. Yayasan siri Bongkok:Ruteng. 2010.
Miharja, K. Achdiat. Polemik Kebudayaan. Balai Pustaka:Jakarta. 1998.
Nggoro, M Adi. Budaya Manggarai Selayang Pandang. Nusa Indah: Ende. 2006.
Storey,John. Cultural Studies dan Kajian Budaya Pop.jalasutra:Yogyakarta. 2008.
Toda, N.Dami. Manggarai Mencari Pencerahan Historiografi.Nusa Indah:Ende. 1999.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar