(dok/SH)
Sanda merupakan nyanyian tradisi yang menjadi bagian dari kebudayaan sekaligus bagian kehidupan warg
Waktu menunjukkan
pukul 23.00 ketika saya menengok jam dinding. Sejam lagi memasuki
hari Rabu, 4 Juli 2012. Suhu dingin terasa sangat menusuk di sekujur
tubuh, sekitar 14 derajat Celsius menurut pengukur suhu di fitur
handphone yang saya gunakan.
Gelak tawa dan canda
warga Kampung Wela-Desa Goloworok, yang telah berkumpul sejak pukul
19.00 malam di rumah adat (mbaru gendang) Wela terus mengalir.
Mungkin itu cara mereka menahan cuaca dingin, yang konon katanya
akibat embusan angin selatan, dari Benua Australia.
Warga duduk bersila
membentuk tiga perempat lingkaran dengan sebagian besar menghadap
pintu utama masuk rumah adat. Jaket tebal, dengan balutan kain songke
menutup seluruh badan.
Hanya tiga pria paruh baya yang mondar-mandir,
memegang cerek putih dengan beberapa buah gelas di tangan. Mereka
menawari minuman dengan ramah dan sopan. “Ini sopi, cocok melawan
dingin,” kata Rofinus Harus, salah satu di antaranya kepada saya.
Saat bersamaan, para
tetua adat tampak serius berdiskusi sambil duduk bersila di sekitar
tiang utama penyangga rumah (siri bongkok). Rupanya mereka
membicarakan tata cara pelaksanaan perayaan penti yang dimulai
keesokan harinya.
Perayaan penti merembusupakan upacara permohonan
sekaligus syukuran atas apa yang diinginkan dan telah diperoleh warga
kampung. “Rasanya dingin, ya? Sekarang
saatnya kita lantunkan sanda,” ujar Largus Dos seorang tetua adat.
Ia berdiri dan diikuti tetua adat lainnya, meminta warga membentuk
lingkaran. Sekitar 100 warga, baik laki-laki maupun perempuan, dari
berbagai tingkatan usia pun berdiri, lalu membentuk lingkaran dengan
siri bongkok sebagai episentum.
Largus Dos memimpin
sanda, memberi aba-aba gerakan kaki. Kaki kiri lebih dahulu bergerak
maju, menyamping sekitar 60-70 derajat sejarak jengkal ke pusat
lingkaran, diikuti kaki kanan. Selanjutnya kaki kanan memimpin
gerakan ke luar dengan pola yang sama. Gerakan kaki ini dilakukan
dengan hentakan berirama yang pasti dan berfungsi sebagai musik
pengiring sanda.
Largus kemudian
bernyanyi sebagai pemimpin sanda, solis tunggal (cako) dengan
suaranya yang merdu dan nyaring. Sesekali ia berjingkrak-jingkrak,
terpisah dari lng. Sejam lagi memasuki hari Rabu, 4 Juli 2012.
Beberapa peserta sanda mengikuti syair lagunya pada bait-bait
tertentu dengan pola sahut-sahutan atau kanon (cual) sebelum diikuti
oleh semua peserta atau koor (wale).
Ungkapan Syukur
Sanda
pada prinsipnya merupakan nyanyian yang berisi berbagai macam ajaran
dan pengalaman hidup manusia dalam berhubungan dengan alam, sesama
dan Pencipta.
Ajaran dan pengalaman hidup itu berupa puji-pujian atau
ungkapan syukur kepada Pencipta, keluh kesah, sikap menghadapi
tantangan, cara memecahkan persoalan, cara menghormati alam dan
sesama, ungkapan harapan dan permohonan kepada yang Ilahi, serta
kepercayaan akan kehidupan setelah kematian.
Nyanyian-nyanyian itu
sudah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang orang
Manggarai. Salah satu sanda yang paling dikenal adalah Sanda Lima.
Menurut Paulus Jalu, salah satu tetua adat, Sanda Lima merupakan
rangkuman semua doa budaya Manggarai.
Sanda Lima berisi pujian
sekaligus ungkapan harapan masyarakat Manggarai kepada Pencipta agar
selalu menyertai perjalanan hidup warga kampung.
Di sebut Sanda Lima
karena terdiri dari lima bait yang masing-masing mengungkapkan syukur
dan permohonan kepada lima sendi kehidupan masyarakat Manggarai. Lima
sendi kehidupan itu adalah mata air, kebun, rumah, halaman, dan
mezbah persembahan.
“Misalnya bait tentang mata air, isinya
ungkapan syukur karena Pencipta telah memberi air. Permohonannya agar
pencipta tidak mengurangi debit air yang ada, kalau bisa menambahnya
(mboas wae woang, kembus wae teku),” kata Paulus Jalu.
Sanda dan Adat
Sanda lazimnya memang
dilantunkan menjelang acara adat penti,
tepatnya sejak warga kampung memutuskan tanggal pelaksanaan acara
(reke) penti. Jarang dikumandangkan siang hari, tetapi jelang tengah
malam.
Konon, menurut cerita kepercayaan masyarakat setempat, sanda
tidak hanya melibatkan manusia yang hidup, tetapi juga diikuti oleh
arwah orang-orang yang sudah meninggal.
Kalaupun sanda dikumandangkan
siang hari, hal itu dilakukan di luar rumah dan saat acara adat penti
sedang dilangsungkan. Misalnya, di hulu mata air (ulu wae), mezbah
persembahan kampung (compang), halaman rumah adat atau di titik utama
kebun/ladang (lingko).
Pemangku Adat Utama
(Tu’a Golo) Kampung Wela, Philipus Jeharut
mengatakan budaya hidup masyarakat Manggarai akrab dengan lingkaran.
Di lima sendi kehidupan tadi selalu ada lingkaran kecil yang
berfungsi sebagai mezbah persembahan.
Cara orang Manggarai berkebun
atau membagi tanah ulayat, misalnya, sangat unik dibandingkan dengan
yang terjadi di tempat lain.
Dimulai dengan membentuk sebuah titik
(lodok), lalu membagi/menyusunnya seperti jaring laba-laba (spider
web). “Dalam berdiskusi, kami mengenal
istilah lonto leok, duduk bermusyawarah membentuk lingkaran. Itu
budaya egaliter, tidak ada pembeda-bedaan, semua warga memiliki hak
menyatakan pendapatnya,” kata Philipus.
Karena itu, dalam
melantunkan sanda juga polanya membentuk lingkaran. Secara
bersama-sama bernyanyi mengungkapkan rasa syukur, menghadapi
persoalan dan menyampaikan permohonan kepada Ilahi bersama-sama.
“Ini budaya nenek moyang, ketika belum mengenal
agama-agama samawi seperti sekarang. Tidak sama dengan menyembah
berhala. Ini budaya Manggarai yang tidak bisa dipertentangkan dengan
agama Katolik atau agama-agama modern,” kata Philipus.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar