Kamis, 04 Juli 2013

Sanda, Mazmur Budaya Manggarai




(dok/SH)
Sanda merupakan nyanyian tradisi yang menjadi bagian dari kebudayaan sekaligus bagian kehidupan warg

Waktu menunjukkan pukul 23.00 ketika saya menengok jam dinding. Sejam lagi memasuki hari Rabu, 4 Juli 2012. Suhu dingin terasa sangat menusuk di sekujur tubuh, sekitar 14 derajat Celsius menurut pengukur suhu di fitur handphone yang saya gunakan.
Gelak tawa dan canda warga Kampung Wela-Desa Goloworok, yang telah berkumpul sejak pukul 19.00 malam di rumah adat (mbaru gendang) Wela terus mengalir. Mungkin itu cara mereka menahan cuaca dingin, yang konon katanya akibat embusan angin selatan, dari Benua Australia.
Warga duduk bersila membentuk tiga perempat lingkaran dengan sebagian besar menghadap pintu utama masuk rumah adat. Jaket tebal, dengan balutan kain songke menutup seluruh badan.
Hanya tiga pria paruh baya yang mondar-mandir, memegang cerek putih dengan beberapa buah gelas di tangan. Mereka menawari minuman dengan ramah dan sopan. “Ini sopi, cocok melawan dingin,” kata Rofinus Harus, salah satu di antaranya kepada saya.
Saat bersamaan, para tetua adat tampak serius berdiskusi sambil duduk bersila di sekitar tiang utama penyangga rumah (siri bongkok). Rupanya mereka membicarakan tata cara pelaksanaan perayaan penti yang dimulai keesokan harinya.
Perayaan penti merembusupakan upacara permohonan sekaligus syukuran atas apa yang diinginkan dan telah diperoleh warga kampung. “Rasanya dingin, ya? Sekarang saatnya kita lantunkan sanda,” ujar Largus Dos seorang tetua adat.
Ia berdiri dan diikuti tetua adat lainnya, meminta warga membentuk lingkaran. Sekitar 100 warga, baik laki-laki maupun perempuan, dari berbagai tingkatan usia pun berdiri, lalu membentuk lingkaran dengan siri bongkok sebagai episentum.
Largus Dos memimpin sanda, memberi aba-aba gerakan kaki. Kaki kiri lebih dahulu bergerak maju, menyamping sekitar 60-70 derajat sejarak jengkal ke pusat lingkaran, diikuti kaki kanan. Selanjutnya kaki kanan memimpin gerakan ke luar dengan pola yang sama. Gerakan kaki ini dilakukan dengan hentakan berirama yang pasti dan berfungsi sebagai musik pengiring sanda.
Largus kemudian bernyanyi sebagai pemimpin sanda, solis tunggal (cako) dengan suaranya yang merdu dan nyaring. Sesekali ia berjingkrak-jingkrak, terpisah dari lng. Sejam lagi memasuki hari Rabu, 4 Juli 2012. Beberapa peserta sanda mengikuti syair lagunya pada bait-bait tertentu dengan pola sahut-sahutan atau kanon (cual) sebelum diikuti oleh semua peserta atau koor (wale).
Ungkapan Syukur
Sanda pada prinsipnya merupakan nyanyian yang berisi berbagai macam ajaran dan pengalaman hidup manusia dalam berhubungan dengan alam, sesama dan Pencipta.
Ajaran dan pengalaman hidup itu berupa puji-pujian atau ungkapan syukur kepada Pencipta, keluh kesah, sikap menghadapi tantangan, cara memecahkan persoalan, cara menghormati alam dan sesama, ungkapan harapan dan permohonan kepada yang Ilahi, serta kepercayaan akan kehidupan setelah kematian.
Nyanyian-nyanyian itu sudah diwariskan secara turun-temurun dari nenek moyang orang Manggarai. Salah satu sanda yang paling dikenal adalah Sanda Lima. Menurut Paulus Jalu, salah satu tetua adat, Sanda Lima merupakan rangkuman semua doa budaya Manggarai.
Sanda Lima berisi pujian sekaligus ungkapan harapan masyarakat Manggarai kepada Pencipta agar selalu menyertai perjalanan hidup warga kampung.
Di sebut Sanda Lima karena terdiri dari lima bait yang masing-masing mengungkapkan syukur dan permohonan kepada lima sendi kehidupan masyarakat Manggarai. Lima sendi kehidupan itu adalah mata air, kebun, rumah, halaman, dan mezbah persembahan.
“Misalnya bait tentang mata air, isinya ungkapan syukur karena Pencipta telah memberi air. Permohonannya agar pencipta tidak mengurangi debit air yang ada, kalau bisa menambahnya (mboas wae woang, kembus wae teku),” kata Paulus Jalu.
Sanda dan Adat
Sanda lazimnya memang dilantunkan menjelang acara adat penti, tepatnya sejak warga kampung memutuskan tanggal pelaksanaan acara (reke) penti. Jarang dikumandangkan siang hari, tetapi jelang tengah malam.
Konon, menurut cerita kepercayaan masyarakat setempat, sanda tidak hanya melibatkan manusia yang hidup, tetapi juga diikuti oleh arwah orang-orang yang sudah meninggal.
Kalaupun sanda dikumandangkan siang hari, hal itu dilakukan di luar rumah dan saat acara adat penti sedang dilangsungkan. Misalnya, di hulu mata air (ulu wae), mezbah persembahan kampung (compang), halaman rumah adat atau di titik utama kebun/ladang (lingko).
Pemangku Adat Utama (Tu’a Golo) Kampung Wela, Philipus Jeharut mengatakan budaya hidup masyarakat Manggarai akrab dengan lingkaran. Di lima sendi kehidupan tadi selalu ada lingkaran kecil yang berfungsi sebagai mezbah persembahan.
Cara orang Manggarai berkebun atau membagi tanah ulayat, misalnya, sangat unik dibandingkan dengan yang terjadi di tempat lain.
Dimulai dengan membentuk sebuah titik (lodok), lalu membagi/menyusunnya seperti jaring laba-laba (spider web). “Dalam berdiskusi, kami mengenal istilah lonto leok, duduk bermusyawarah membentuk lingkaran. Itu budaya egaliter, tidak ada pembeda-bedaan, semua warga memiliki hak menyatakan pendapatnya,” kata Philipus.
Karena itu, dalam melantunkan sanda juga polanya membentuk lingkaran. Secara bersama-sama bernyanyi mengungkapkan rasa syukur, menghadapi persoalan dan menyampaikan permohonan kepada Ilahi bersama-sama.
“Ini budaya nenek moyang, ketika belum mengenal agama-agama samawi seperti sekarang. Tidak sama dengan menyembah berhala. Ini budaya Manggarai yang tidak bisa dipertentangkan dengan agama Katolik atau agama-agama modern,” kata Philipus.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar